Januari 2021

Foto Almarhum
Bancak - NUBANCAK.OR.ID

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, kabar duka kembali menyelimuti warga NU Jawa Tengah. Rais Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Thailand KH Hasanuddin wafat karena sakit di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah pada Jumat (22/1) malam.

Kabar meninggalnya Kiai Hasanuddin semalam yang beredar luas di grup Whatsapp Jamaah Al-Khidmah maupun di media sosial (medsos). Sosok KH Hasanuddin yang sangat dekat dengan almaghfurlah KH Ahmad Asori Al-Ishaqi Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al-Utsmaniyah yang bermarkas di Kedinding Lor Surabaya Jawa Timur dikenal sangat supel dan dekat dengan siapa saja. 

Aktivis NU Demak Samsul Huda menyebutkan, KH Hasanuddin selain menjadi dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, juga mengajar di Kampus Universitas Diponegoro (Undip).

"Kiai Hasanuddin dekat dengan siapa saja. Bahkan saat ini beliau masih menjabat sebagai Rais PCINU Thailand meski dalam kesehariannya tinggal di Ungaran, Jawa Tengah sambil menjadi dosen dan mengelola Radio Rasika Grup," jelasnya.

Almarhum KH Hasanuddin (kiri)

Disampaikan, sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jawa Tengah juga pernah aktif sebagai Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) tingkat Jawa Tengah dan nasional.

"Beliau sosok yang tidak bisa diam. Berbagai organisasi ditekuni dan yang terakhir masih aktif di Jamaah Al-Khidmah daerah maupun nasional baik sebagai salah satu pendiri maupun pengurus," terangnya.

Kiai Hasanuddin meninggalkan seorang istri dan dua anak hingga akhir hayat masih aktif di berbagai kegiatan yang diadakan oleh Al-Khidmah di lingkup Jawa Tengah bahkan hingga luar negeri. Termasuk jadi Pengurus Cabang NU di Thailand. 



Sumber

Kontributor : M Ngisom Al-Barony

Editor : Danang P.W.



Rejosari - NUBANCAK.OR.ID

Malam ini (20/1) adalah pelantikan Pengurus Ranting NU Desa Rejosari Kecamatan Bancak Kabupaten Semarang, pelantikan kali ini berbeda dengan beberapa pelantikan sebelumnya karena diiringi hujan. Namun kehadiran undangan dari sesepuh, tokoh masyarakat, dan kyai sekitar sangat antusias dalam menyambut momen penting ini.

Drs. Khamim Ketua Tanfidziyah MWC NU Kec. Bancak hadir langsung dalam pelantikan ini, beliau menyampaikan kepada kontributor NUBANCAK.OR.ID bahwa reorganisasi adalah tanda sebuah organisasi yang sehat, dan memiliki semangat juang yang tinggi terutama dalam mengawal aswaja di Kecamatan Bancak pada umumnya dan di Desa Rejosari khususnya.


Ketua terpilih yaitu Bapak K. Abdul Wahab menyampaikan bahwa akan melaksanakn tugas dengan sebaik - baiknya dan akan terus berkoordinasi baik dengan jajaran pengurus ranting maupun pengurus MWC guna sinkronisasi program-program yang akan dilaksanakan kedepannya agar sesuai dengan aturan organisasi.



Kontributor : Darty

Editor : Danang P.W

Penyerahan SK dan Stampel


Bancak - NUBANCAK.OR.ID

Pelantikan Ranting NU Desa Bancak tadi malam (18/1), berlangsung khidmat. Dihadiri oleh segenap masyarakat sekitar, sesepuh, dan para tokoh masyarakat di Desa Bancak. 

Bapak Ramdani Ketua terpilih Ranting NU Desa Bancak, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang menerima SK dan stampel yang diserahkan langsung oleh Ketua Tanfidziah MWC NU Kec. Bancak Drs. Khamim.

Dijumpai kontributor NUBANCAK.OR.ID setelah acara selesai beliau Bapak Ramdani menuturkan bahwa "saya baru pertamakali menerima amanat sebagai ketua ranting, semoga kedepannya dapat amanah dan menjadikan Ranting NU Desa Bancak semakin baik dengan melaksanakan program-program yang nantinya akan disusun bersama jajaran pengurus, semoga bermanfaat".

Acara berlangsung tertib, dan suasana penuh khidmat karena diisi dengan kajian dan juga tahlilan tidak lain untuk mendoakan kita semua agar diberi keselamatan oleh Allah SWT.



Kontributor : Rusli

Editor : Danang P.W.

Bancak - NUBANCAK.OR.ID

Pada 31 Januari 2021 yang akan datang, Nahdlatul Ulama genap berusia 95 tahun dalam hitungan tahun Masehi. Pada tahun ini, tema yang diangkat pada Hari Lahir (Harlah) ormas keagamaan terbesar di Indonesia ini, adalah Khidmah NU: Menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan.  

Visualisasi tema besar ini pun sudah terwujud dalam logo Harlah Ke-95 NU. Sang desainer logo, Dain Nur Rafita Ardani Rahmansyah menjelaskan bahwa ada makna filosofis terkandung dalam logo Harlah yang pengerjaannya membutuhkan waktu sekitar empat hari.  

Dalam desain tersebut terdapat dua bulatan yang menggabungkan angka sembilan dan lima di bagian tengah. Dua bulatan yang berbentuk seperti angka delapan ini dibuat dengan satu tarikan garis memiliki makna konsistensi atau keajegan.   

"Ini sesuai tema yang diusung yaitu konsistensi khidmah NU dalam menyebarkan Aswaja dan meneguhkan komitmen kebangsaan, serta konsistensi dalam membawa Islam yang Rahmatan lil alamin," jelas Dian.

Dalam logo Harlah yang dipadu dengan logo NU di atasnya dan tanggal serta tahun kelahiran NU di bawahnya ini, ada dua warna yang dominan yakni warna emas dan hijau. Bukan tanpa alasan dua warna ini dipadukan dengan apik sehingga mewujudkan logo yang terlihat bersinar.

 "Warna emas menggambarkan kemuliaan, hijau melambangkan kedamaian," jelas Dian.  

Saat penggarapan, Dian mengungkapkan beberapa langkah dan kompleksitas dalam mewujudkan desain ini. Memang menurut Dian, kesulitan yang dihadapi oleh para desainer logo adalah mencari konsep dan memvisualisasikan tema. "Biasanya konsep udah nemu tapi nggak nyambung sama tema," ungkapnya.  

Namun, dengan kesungguhan dan pengalaman dalam dunia desain, akhirnya ia bisa mewujudkan logo Harlah Ke-95 NU untuk tahun 2021. Logo ini nantinya bakal banyak terwujud dalam berbagai media seperti umbul-umbul, bendera, dan berbagai suvenir.

Sumber


Editor : Danang P.W.


Bancak - NUBANCAK.OR.ID

Pandemi Covid-19 telah banyak mengubah tatanan kehidupan umat manusia di semua negara, mulai dari ekonomi, politik, hingga kebiasaan sehari-hari. Pernahkah kita merenung ketika organisme berukuran sangat kecil itu ternyata bisa memaksa manusia beradaptasi dengan hal-hal baru, termasuk protokol kesehatan? Lewat khutbah Jumat ini, mari kita meresapi hikmah dari berbagai perubahan tersebut, dan keterkaitannya dengan upaya mendekatkan diri kepada Allah.

Materi khutbah Jumat yang diangkat kali ini mengangkat pelajaran-pelajaran yang bisa diambil dari kebiasaan baru selama pandemi: mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Para mustami‘ (penyimak khutbah) diharapkan memaknai protokol kesehatan lebih dari sekadar fenomena fisik dan ekspresi kecemasan akan virus, melainkan “teguran” yang kian membuka kesadaran rohani manusia.

Berikut teks khutbah Jumat berjudul "4 Pelajaran di Balik Protokol Kesehatan". Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi).

Khutbah I

   الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَى قُلُوْبِ اْلمُسْلِمِيْنَ المُؤْمِنِيْنَ وَجَعَلَ الضِّياَقَ عَلَى قُلُوْبِ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْنِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلمِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ المَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ. أَمَّا بَعْدُ أَيُّهاَ اْلحَاضِرُوْنَ اْلمُسْلِمُوْنَ حَفِظَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا  

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Dalam berbagai macam situasi dan kondisi apa pun, marilah kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Kita harus menyadari bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan kita di dunia ini merupakan takdir dan kehendak-Nya. Tidak ada yang bisa mendatangkan nikmat dan tidak ada yang bisa menerima tobat kecuali Allah subhanahu wata’ala. Dialah yang paling berkuasa atas kehidupan manusia di bumi ini karena semua berasal dari Allah dan semua akan kembali kepada-Nya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 156:

    ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رجِعُونَ     

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).” 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Saat ini, dunia sedang mengalami musibah pandemi Covid-19. Virus Corona ciptaan Allah subhanahu wata’ala itu menginveksi manusia di berbagai penjuru dunia. Sejak Desember 2019, virus yang tak kasat mata ini mewabah dan tercatat sampai awal tahun 2021, sudah lebih dari 90 juta orang terinveksi. Makhluk Allah ini juga sampai sekarang sudah menyebabkan sekitar 1,9 juta orang meninggal dunia.

Bencana nonalam ini mengakibatkan berbagai sektor kehidupan terdampak, mulai dari kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan berbagai sendi kehidupan manusia. Pandemi ini pun disikapi oleh pemangku kebijakan dengan menerapkan pola hidup baru yang dikenal melalui istilah new normal. Segala aktivitas kehidupan harus tetap berjalan namun juga harus memperhatikan tatanan atau model baru untuk menghindari virus ini.

Pemerintah pun terus mengingatkan masyarakat untuk senantiasa menaati dan menerapkan protokol kesehatan dalam berbagai aktivitas. Hal ini ditujukan sebagai ikhtiar lahiriah untuk memutus rantai penyebaran virus yang pertama kali muncul di negeri China ini. Protokol kesehatan yang dianjurkan meliputi empat hal yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Menurut para ahli, protokol kesehatan ini dinilai mampu menjadi ikhtiar fisik dalam menjaga diri dan orang lain dari paparan virus Corona. Namun jika direnungkan, empat bentuk protokol kesehatan ini memiliki hikmah dan makna penting yang patut menjadi renungan kita bersama. Dengan merenungkan hakikat makna memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan ini, kita diingatkan kembali, betapa Allah subhanahu wata’ala sangat sayang pada umat manusia dengan mengingatkan agar selalu ingat pada-Nya.

Protokol kesehatan pertama adalah memakai masker. Ini bisa menjadi peringatan bagi kita untuk senantiasa menjaga mulut kita. Di zaman digital saat ini, setiap orang bebas mengekspresikan dan mengatakan apa yang ada dalam benak dan pikirannya. Era media sosial yang tidak ada lagi batas waktu dan jarak ini, menjadikan banyak orang ceroboh dan tidak memikirkan efek dari apa yang diucapkan atau ditulis di media sosial.

Saat ini kita bisa rasakan sendiri, banyak orang yang memproduksi hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda untuk berbagai kepentingan. Hal ini mengakibatkan banyak permasalahan yang mengarah pada konflik di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah mengingatkan kita melalui haditsnya untuk berbicara hal-hal yang baik saja. 

 وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصمُتْ  

Artinya:“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam” (HR al-Bukhari).  

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Protokol kesehatan yang kedua adalah mencuci tangan. Ini menjadi simbol bagi kita untuk segera membersihkan diri dari banyaknya dosa yang telah dilakukan. Di zaman modern ini, berbagai tindakan dosa yang ditimbulkan akibat ulah anggota badan kita bisa dengan mudah dilakukan, baik dosa itu merugikan diri sendiri dan terlebih merugikan orang lain.

Berbagai bencana alam maupun nonalam menjadi peringatan bagi kita untuk segera bertobat kepada Allah dari dosa-dosa yang telah kita lakukan. Pertobatan bisa dilakukan dengan banyak-banyak membaca istighfar dengan harapan dosa-dosa yang telah kita perbuat diampuni oleh Allah subhanahu wata’ala sehingga keberkahan akan turun kepada kita.

  Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Nuh ayat 10 sampai 13.

  فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا . يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا . وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا . مَا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا

Artinya: “Maka aku (Nuh) berkata (kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan (beristighfarlah) kepada Tuhanmu. Sungguh, Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu’.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Protokol kesehatan yang ketiga adalah menjaga jarak. Ini juga menjadi renungan kita untuk tetap menjaga jarak dengan kehidupan dunia. Jangan sampai dunia yang hanya tempat mampir untuk istirahat ini menjadikan kita lupa kehidupan yang abadi yakni akhirat. Virus corona ini seolah-olah diutus oleh Allah untuk mengingatkan bahwa umat manusia saat ini sudah tenggelam dalam kenikmatan dunia sekaligus lupa dan dibuat lupa oleh pesona dunia.

Kehidupan dunia dan akhirat haruslah seimbang sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu:

  اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا 

Artinya: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Protokol kesehatan yang terakhir adalah menghindari kerumunan. Hal ini merupakan simbol bahwa terkadang kita memang harus menyendiri dan bermuhasabah terhadap segala sesuatu yang telah diperbuat selama ini. Kita harus menghitung-hitung kembali jika kemungkinan selama hidup ini kita sombong dan tidak dapat menundukkan nafsu. Manusia sering berbuat ketamakan dan kesewenang-wenangan karena nafsu telah menunggangi akal sehat. 

Sayyidina Umar bin Khattab telah mengingatkan pentingnya muhasabah dalam satu khutbahnya, yakni:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا وَتَزَيَّنُوْا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِى الدُّنْيَا   

“Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.”

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah, Demikian khutbah renungan hikmah di balik protokol kesehatan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sebagai orang yang beriman, sudah seharusnya kita terus menanamkan dalam diri kita bahwa Allah-lah yang paling kuasa terhadap segala apa yang terjadi. Sebagai makhluk lemah, kita harus melakukan ikhtiar bumi agar kita diberi keselamatan dan melakukan ikhtiar langit agar Allah segera mengangkat musibah ini dari muka bumi. 

 بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

Khutbah II

 اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِاْلاِتِّحَادِ وَاْلاِعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللهِ الْمَتِيْنِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ إِيَّاهُ نَعْبُدُ وَإِيَّاُه نَسْتَعِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَلْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اِتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَسَارِعُوْا إِلَى مَغْفِرَةِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا . وَصَلَّى الله عَلَى سَيِّدَنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ  اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْاَمْوَاتْ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ  اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ . رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.  عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

 Muhammad Faizin, Sekretaris PCNU Kabupaten Pringsewu, Lampung

Sumber



Editor : Danang P.W.

Bancak - NUBANCAK.OR.ID
Assalamu ‘alaikum wr. wb. Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang saya hormati, beberapa waktu lalu ada seorang teman lama datang ke rumah. Ia menanyakan kepada saya hukumnya mengucapkan “Selamat siang” sebagai pembuka pembicaraan. Karena ia pernah ditegur oleh temannya bahwa ucapan “Selamat siang” itu tidak boleh.

Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana pandangan hukum Islam menyikapi hal ini. Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Suryadi/Jakarta)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Islam pada dasarnya menganjurkan umat Islam untuk mengucapkan salam sebagai pembuka perbincangan. Karena ucapan salam itu mengandung doa.

Lalu bagaimana hukumnya mengucapkan “selamat pagi”, “selamat siang”, “selamat sore”, atau “selamat pagi” sebagai bentuk kalimat untuk menyapa orang lain? Sejauh ini tidak ada larangan agama Islam untuk bentuk sapaan semacam itu.

Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat hadits juga pernah menyapa salah seorang sahabatnya dengan bentuk sapaan seperti ini. Tentunya Rasulullah SAW menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa ibunya. Hal ini diangkat oleh Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam kumpulan fatwanya yang kami kutip sebagai berikut.
التهنئة بالصباح والمساء .أخرج الطبراني بسند حسن عن ابن عمرو : قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم لرجل : كيف أصبحت يا فلان ؟ قال أحمد الله إليك يا رسول الله ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلّم ذلك الذي أردت منك

Artinya, “Bab mengucap ‘Selamat Pagi dan Sore’. Imam At-Thabarani dengan sanad hasan meriwayatkan hadits dari Ibnu Amr bahwa Rasulullah SAW bertanya kepada seorang sahabatnya, ‘Apa kabarmu pada ini pagi sahabat?’ ‘Alhamdulillah baik, masih bisa menemuimu ya Rasul,’ jawab sahabatnya. ‘Syukurlah, itu yang kuharapkan darimu,’ sambut Rasulullah SAW,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Hawi Lil Fatawi fil Fiqh wa Ulumit Tafsir wal hadits wal Ushul wan Nahwi wal I‘rabi wa Sa’iril Funun, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Libanon, 1982 M/1402 H, juz 1, halaman 82).

Keterangan Syekh Jalaluddin As-Suyuthi  di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW juga menggunakan bentuk sapaan lain di luar ucapan salam. Dengan demikian penggunaan sapaan “selamat pagi”, “selamat siang”, “good morning”, “good night”, "shabahan nur" dan selanjutnya tidak masalah.

Simpulan kami, Islam tidak membatasi dan menentukan kalimat sapaan. Dan sangat terbuka kemungkinan ada bentuk sapaan lain di luar “selamat pagi” dan “selamat siang” seiring dengan perkembangan bahasa, perbedaan geografis, dan penggunaan di komunitas tertentu. Hanya saja, kami menyarankan agar kita menggunakan kata sapaan yang santun sesuai dengan norma yang berlaku.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Source : www.nu.or.id



Editor : Danang P.W.

Bancak - NUBANCAK.OR.ID
Assalamu ’alaikum wr. wb. Redaksi Bahtsul Masail NU Online. Terlebih dahulu kami mohon maaf, saya adalah orang yang masih awam soal agama. Maklum usia masih muda jadi belum bisa rajin ngaji. Saya akan menanyakan tentang apa yang dimaksud dengan shalat sunah Awwabin. Kenapa dinamai shalat Awwabin? Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Nama dirahasiakan).

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Bagi masyarakat kebanyakan, terutama kalangan muda yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama secara intensif memang agak asing mendengar istilah shalat sunah Awwabin.

Shalat sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa shalat dikategorikan sebagai ibadah fisik yang paling utama (afdlalu ‘ibadatil badan). Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya amalan adalah shalat.
أَفْضَلُ عِبَادَاتِ الْبَدَنِ: اَلصَّلَاةُ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا ، وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ ، وَلاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ"

Artinya, “Ibadah fisik yang paling utama adalah shalat karena didasarkan pada sabda Nabi SAW, ‘Beristiqamahlah, dan kalian tidak akan mampu. Ketahuilah bahwa sebaik-baiknya amalan kalian adalah shalat. Hanya orang beriman yang melestarikan/menjaga wudlu,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus, Darul Fikr, juz II, halaman 222).

Logika yang dapat digunakan untuk membenarkan pandangan ini adalah bahwa shalat ibadah yang mengumpulkan pelbagai macam aktivitas ibadah-ibadah lainnya dalam satu rangkaian, seperti bersuci, menghadap kiblat, membaca Al-Quran, dan lain sebagainya. Inilah salah satu hal yang membedakan antara ibadah shalat dengan ibadah fisik lainnya.
وَلِأَنَّهَا تَجْمَعُ مِنَ الْقُرَبِ مَا لَا يَجْمَعُ غَيْرُهَا، مِنَ الطَّهَارَةِ وَاسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ، وَالْقِرَاءَةِ، وَذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلَاةُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَيُمْنَعُ فِيهَا مِنْ كُلِّ مَا يَمْنَعُ مِنْهُ فِي سَائِرِ الْعِبَادَاتِ، وَتَزِيدُ عَلَيْهَا بِالْاِمْتِنَاعِ عَنِ الْكَلَامِ، وَالْمَشْيِ، وَسَائِرِ الْأَفْعَالِ

Artinya, “Karena shalat merupakan ibadah yang menggabungkan pelbagai macam ibadah yang tidak dikumpulkan oleh ibadah selain shalat, seperti bersuci, menghadap kiblat, membaca Al-Quran, dzikir kepada Allah, dan bershalawat kepada Rasulullah SAW. Di dalam shalat terdapat larangan dari setiap hal yang dilarang di semua bentuk ibadah, berbicara, berjalan, dan larangan pelbagai macam perbuatan lainnya,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus, Darul Fikr, juz II, halaman 222).

Sedangan shalat itu ada yang wajib, seperti shalat lima waktu, dan ada yang sunah. Di antara shalat yang disunahkan adalah shalat Awwabin. Istilah shalat Awwabin itu sendiri memilik dua konotasi, bisa diartikan shalat Dhuha, bisa juga diartikan shalat sunah di antara Maghrib dan Isya sebagaimana yang dikemukakan para ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i.

Kendati demikian, Madzhab Syafi’i cenderung menggunakan istilah shalat Awwabin dengan pengertian yang kedua, yaitu shalat sunah yang dilakukan di antara Maghrib dan Isya.
وَيُؤْخَذُ مِمَّا جَاءَ عَنْ صَلاَةِ الضُّحَى وَالصَّلاَةِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ أَنَّ صَلاَةَ الْأَوَّابِينَ تُطْلَقُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى ، وَالصَّلاَةِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ . فَهِيَ مُشْتَرَكَةٌ بَيْنَهُمَا كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ .وَانْفَرَدَ الشَّافِعِيَّةُ بِتَسْمِيَةِ التَّطَوُّعِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِصَلاَةِ الْأَوَّابِينَ

Artinya, “Dari apa yang telah dijelaskan mengenai shalat Dhuha dan shalat sunah di antara Maghrib dan Isya dapat diambil simpulan bahwa ‘shalat Awwabin’ dikatakan untuk menyebut shalat sunah Dhuha dan shalat sunah di antara Maghrib dan Isya. Karenanya shalat Awwabin dikonotasikan di antara keduanya sebagaimana dikemukakan oleh Madzhab Syafi’i. Hanya Madzhab Syafi’i yang menamakan shalat di antara Maghrib dan Isya dengan shalat Awwabin,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Mesir, Darush Shafwah, cet ke-1, juz XXVII, halaman 134-135).

Pertanyaannya kemudian, kenapa dinamai shalat Awwabin? Disebut “shalat Awwabin” karena orang yang menjalankannya itu kembali kepada Allah dan bertobat dari kesalahan yang dilakukan pada siang hari. Ketika ia menjalankan shalat tersebut berulang-ulang, maka hal itu merupakan penanda pertobatan atau kembalinya ia kepada Allah kendati hal tersebut tidak disadarinya.
وَصَلَاةُ الْأَوَّابِينَ وَإِنَّمَا سُمِّيَتْ صَلَاةَ الْأَوَّابِينَ ؛ لِأَنَّ فَاعِلَهَا رَجَعَ إلَى اللَّهِ تَعَالَى وَتَابَ مِمَّا فَعَلَهُ فِي نَهَارِهِ فَإِذَا تَكَرَّرَ ذَلِكَ مِنْهُ دَلَّ عَلَى رُجُوعِهِ إلَى اللَّهِ تَعَالَى وَلَوْ لَمْ يُلَاحَظْ ذَلِكَ الْمَعْنَى

Artinya, “Dinamai shalat Awwabin sebab orang yang menjalankannya itu kembali kepada Allah dan bertobat dari kesalahan yang ia lakukan pada siang hari. Karenanya, ketika ia melakukannya berulang-ulang, maka hal itu merupakan penanda kembalinya ia (bertobat) kepada Allah ta’ala meskipun itu tidak disadarinya,” (Lihat Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, Beirut, Daru Fikr, juz, 609).

Shalat Awwabin juga disebut “shalat ghaflah” (shalat lalai). Menurut apa yang kami pahami dari keterangan di kitab Al-Iqna`, disebut demikian karena umumnya orang cenderung lalai pada saat antara Maghrib dan Isya karena disibukkan dengan aktivitas lain seperti makan malam, tidur, dan lain sebagainya.

Sedang jumlah rakaat shalat Awwabin adalah dua puluh dan minimal dua rakaat.
وَصَلَاةُ الْأَوَّابِينَ وَتُسَمَّى صَلَاةَ الْغَفْلَةِ لِغَفْلَةِ النَّاسِ عَنْهَا بِسَبَبِ عَشَاءٍ أَوْ نَوْمٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةٍ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَأَقلُّهَا رَكْعَتَانِ

Artinya, “Shalat Awwabin (disebut juga, pent) ‘shalat Ghaflah’ (lalai) karena kelalaian orang-orang atas shalat tersebut oleh aktivitas seperti makan malam, tidur, dan selainnya. Sedang jumlah rakaatnya adalah dua puluh di antara Maghrib dan Isya. Minimal adalah dua rakaat,” (Lihat Muhammad Asy-Syarbini Al-Khathib, Al-Iqna` fi Halli Alfazhi Abi Syujja’, Beirut, Darul Fikr, 1415 H, juz I, halaman 118).

Dalam hadist yang diriwayatkan At-Tirmidzi dijelaskan mengenai fadhilah atau keutamaan dari shalat Awwabin. Dalam riwayat tersebut dijelaskan bahwa orang yang menjalankan shalat Awwabin enam rakaat akan mendapatkan pahala setara ibadah dua belas tahun.
مَنْ صَلَّى سِتَّ رَكَعَاتٍ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ كَتَبَ اللهُ لَهُ عِبَادَةَ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ سَنَةً

Artinya, “Barang siapa yang melaksanakan shalat Awwabin enam rakaat maka Allah catat baginya pahala ibadah dua belas tahun,” (HR Tirmidzi).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb.
 
Source : www.nu.or.id  



Editor : Danang P.W.

Bancak - NUBANCAK.OR.ID
Adzan termasuk ibadah mulia yang paling besar manfaatnya bagi orang banyak. Bagaimana tidak? Muadzin berjasa mengingatkan orang lupa, membangunkan orang tidur, dan memberi tahu orang yang sedang beraktivitas dan santai kalau waktu shalat sudah tiba.

Saking besarnya manfaat adzan ini, Allah SWT memberi ganjaran berupa ampunan dosa  bagi orang yang mengumandangkannya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah SAW dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah.


المؤذن يغفر له مدى صوته ويستغفر له كل رطب ويابس وشاهد الصلاة يكتب له خمس وعشرون حسنة ويكفر عنه ما بينهما
“Seorang muadzin akan diampuni sejauh suara adzan yang ia kumandangkan. Setiap (benda) yang basah dan kering akan memintakan ampun untuknya. Sedangkan orang yang  menghadiri shalat jama’ah akan dituliskan dua puluh lima kebaikan baginya dan dosa antara dua shalat akan diampuni karenanya.” HR. Ibnu Majah.

Tidak hanya itu, dalam hadis lain disebutkan bahwa muadzin memiliki posisi yang begitu istimewa di akhirat kelak. Posisi istimewa ini diperoleh melalui hasil usaha kerja kerasnya selama di dunia. Mu’awiyah bin Abi Sufyan pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,

المؤذنون أطول الناس أعناقا يوم القيامة

“Muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya di akhirat kelak,” HR. Ibnu Majah.

An-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan, para ulama baik salah maupun khalaf berbeda pendapat mengenai maksud kata “athwalunnas a’naqan” dalam hadis di atas.  Ada ulama yang menafsirkan maksud hadits tersebut adalah di akhirat kelak semua orang akan melihat banyaknya pahala yang diperoleh seorang muadzin.

Ada pula yang memahami “panjang leher” itu berati muadzin diposisikan sebagai pemimpin di hari akhirat nanti, sebab orang Arab biasanya menggunakan kata “panjang leher” sebagai tamsil pemimpin. Sementara Ibnul ‘Arabi berpendapat, maknanya ialah orang yang paling banyak amalannya.

Perbedaan ulama ini tidak saling berlawanan dan masih bisa dicari titik-temunya. Pada intinya mereka sepakat bahwa adzan merupakan ibadah yang mulia sehingga ibadah ini akan mengantarkan orang yang mengumandangkannya pada posisi yang terbaik di akhirat kelak. Maka dari itu, jangan malu bila diminta untuk mengumandangkan adzan. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdianysah)


Dari : www.nu.or.id


Editor : Danang P.W.

 
Bancak - NUBANCAK.OR.ID
Di antara shalat yang disunnahkan ialah tahiyatul masjid, yaitu shalat dua rakaat ketika masuk masjid sebelum duduk. Menurut Imam al-Nawawi, kesunnahan shalat ini sudah disepakati oleh mayoritas ulama (ijma’) dan makruh meninggalkannya kecuali ada udzhur . Kesunnahan mengerjakan shalat ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Qatadah, Rasulullah SAW berkata:

إذا دخل أحدكم المسجد فليصل ركعتين قبل أن يجلس

Artinya:
“Apabila kalian masuk masjid hendaklah shalat dua raka’at sebelum duduk” (HR: Ibnu Majah)
  
Hadis ini menunjukan secara jelas anjuran shalat tahiyatul masjid. Namun persoalannya, pada saat shalat jum’at, khususnya setelah khatib naik mimbar,  sebagian orang seringkali merasa bingung untuk menentukan pilihan: apakah mengerjakan shalat sunnah atau langsung duduk demi mendapatkan kesunnahan menyimak khutbah.

Persoalan ini pernah melanda seorang sahabat pada masa Rasulullah. Kebetulan pada waktu itu Rasulullah SAW bertindak sebagai khatib jum’at. Dikarenakan datang terlambat, demi menyimak khutbah keagamaan, sahabat tadi langsung duduk dan tidak shalat tahiyatul masjid. Rasul pun akhirnya menegurnya. Beliau berkata:

صل ركعتين خفيفتين قبل أن تجلس

Artinya:
“Shalatlah kamu dua rakaat dengan ringkas (cepat) sebelum duduk” (HR: Ibn Hibban)
  
Rasulullah SAW tetap memerintahkan shalat dua raka’at sekalipun khutbah jum’at sedang berlangsung. Ini menunjukan saking sunnah dan utamanya shalat tahiyatul masjid. Khusus bagi orang yang terlambat, dianjurkan mempercepat shalatnya agar dapat mendengar khutbah jum’at. Berdasarkan hadis ini, Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab mengatakan:     

واما إذا دخل والإمام يخطب يوم الجمعة أو غيره فلا يجلس حتى يصلي التحية ويخففها
    
“Apabila seorang masuk masjid dan khatib sedang khutbah jum’at, hendaklah ia shalat tahiyatul masjid terlebih dahulu dan mempercepatnya”
  
Dengan demikian, bagi orang yang terlambat datang ke masjid pada hari jum’at, sementara khatib sudah naik mimbar, kesunnahan shalat tahiyatul masjid tetap berlaku. Namun perlu digarisbawahi, kesunnahan ini tidak berlaku pada saat shalat berjemaah, ketika imam sudah takbir ataupun muadzzin sudah iqamah. Pada kondisi ini, dimakruhkan melakukan shalat sunnah dan lebih baik langsung shalat berjemaah bersama imam. Wallahu a’lam.
 



nu.or.id
Editor : Danang P.W.

Gambar Ilustrasi
Bancak - NUBANCAK.OR.ID
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dalam sebuah khutbah mengatakan, “Sesungguhnya Allah memberikan tawaran kepada seorang hamba antara dunia dan apa yang ada di sisi-Nya. Ternyata hamba itu lebih memilih apa yang ada di sisi Allah.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq menangis. Para sahabat yang lainnya pun heran. Hingga akhirnya diketahui bahwa hamba yang dimaksud Nabi itu tak lain adalah Abu Bakar. Mereka memeng mengakui keutamaan pribadi sahabat yang juga mertua Rasulullah itu.

Dalam kesempatan lain, Nabi menyebut orang yang paling besar jasanya dalam persahabatan dan kerelaan mengeluarkan hartanya adalah Abu Bakar. "Andai saja aku diperbolehkan memilih kekasih selain Rabbku, pasti aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Tapi cukuplah antara aku dengan Abu Bakar ikatan persaudaraan dan saling mencintai karena Islam," kata Rasulullah.

Sayyidina Abu Bakar termasuk kelompok orang yang paling awal masuk Islam (as-sâbiqûnal awwalûn). Selain loyalitasnya yang sangat tinggi terhadap Rasulullah, ia juga dikenal sebagai sosok yang amat zuhud dan punya keistimewaan lebih dari para sahabat lain. Reputasi di mata Nabi dan sahabat-sahabat inilah yang membuatnya dipercaya mengemban amanat sebagai khalifah pertama selepas Rasulullah wafat.

Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kehidupan Sayyidina Abu Bakar, baik melalui keteladanannya atau petuah-petuah yang disampaikannya. Salah satu yang bisa ditimba adalah cerita tentang saat-saat beliau menjelang wafat. 

Seperti ditulis Anîsul Mu'minîn, suatu kali Sayyidah 'Aisyah, putri beliau yang juga istri Rasulullah, datang kepada Abu Bakar yang kala itu sedang sakit.

"Wahai Ayah, bagaimana bila aku panggilkan dokter?" tanya 'Aisyah.

"Ayah sudah ditangani dokter."

"Lalu apa kata dokter?" tanya 'Aisyah penasaran.

"Ayah boleh melakukan apa yang Ayah inginkan." Pernyataan dokter semacam ini menunjukkan bahwa sakit Abu Bakar cukup parah dan mendekati kematian. 

"Dengan kain mana aku nanti mengafani jenazah Ayah?"

"Dengan baju yang biasa aku pakai saat makmum shalat bersama Rasulullah."

"Baju itu sudah usang. Apa tidak sebaiknya aku belikan kain kafan yang baru?" tanya 'Aisyah.

Jawab Abu Bakar, "Orang hidup lebih berhak atas sesuatu yang baru ketimbang orang mati."

Dialog 'Aisyah dan Abu Bakar tersebut membuktikan kematangan psikologi mereka dalam menyikapi fenomena kematian. Kematian bukan hal yang menyeramkan. Mati pasti terjadi sebagai jembatan berjumpa seorang hamba kepada Rabb-Nya, lalu mempertanggungjawabkan apa yang manusia perbuat selama di dunia.

Pilihan Abu Bakar agar dikafani menggunakan baju lusuh yang biasa dikenakan saat shalat berjamaah dengan Nabi mengesankan setidaknya dua hal. Pertama, kecintaan beliau yang begitu mendalam terhadap Rasulullah. Kedua, bukti kebersahajaan Abu Bakar yang istiqamah, saat hidup hingga maut menjemput.

Yang paling menarik adalah saat ia menjawab tawaran 'Aisyah yang hendak membelikan kain kafan baru. Ia menampiknya dengan alasan bahwa barang baru hanya layak untuk orang hidup, bukan orang mati. Pernyataan yang terakhir ini sejatinya bukan sekadar penolakan, melainkan pula pesan untuk mereka yang masih hidup bahwa gemerlap duniawi tak lagi relevan ketika jasad seseorang sudah tertimbun di dalam tanah. Wallahu a'lam. 




Sumber
Editor : Danang PW

Bancak - NUBANCAK.OR.ID
Assalamu ’alaikum wr. wb. Pak Ustadz yang terhormat, saya ingin menanyakan hukum mengenai perpindahan atau geser dari tempat semula yang dijadikan untuk shalat fardlu ke tempat lain ketika hendak menjalankan shalat sunah. Praktik seperti ini sudah lazim di mana-mana.

Ketika seseorang telah selesai menjalankan shalat fardlu, dan ingin menjalankan shalat sunah, maka ia biasanya bergeser ke tempat lain. Bagaimana hukum pergeseran atau perpindahan tersebut? Mohon penjelasannya, karena saya juga melakukan hal yang seperti tetapi belum tahu dasar hukumnya. Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih banyak. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Musa/Bekasi Utara)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebagaimana yang kita pahami bersama, shalat sunah merupakan pelengkap dari shalat fardlu.

Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya—yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui jalur Zaid bin Tsabit—menganjurkan untuk menjalankan shalat sunah di rumah. Tentunya tidak semua shalat sunah dianjurkan untuk dilaksanakan di dalam rumah seperti shalat Id dan shalat sunah gerhana.

Atas dasar ini para ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa jika shalat itu termasuk dari shalat yang setelahnya dianjurkan untuk menjalankan shalat nafilah atau shalat sunah, maka orang yang ingin mengerjakan shalat sunah tersebut dianjurkan melaksanakannya di rumah.
قَالَ اَصْحَابُنَا اِنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ مِمَّا يُتَنَفَّلُ بَعْدَهَا فَالسُّنَّةُ اَنْ يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ لِفِعْلِ النَّافِلَةِ لِاَنَّ فِعْلِهَا فِي الْبَيْتِ اَفْضَلُ " لِقَوْلِهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا اَيُّهَا النَّاسِ فِي بُيُوتِكُمْ فَاِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ اِلَّا الْمَكْتُوبَةَ " رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ مِنْ رِوَايَةِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِىَ اللهُ تَعَالَي عَنْهُ

Artinya, “Menurut para ulama dari kalangan kami (Madzhab Syafi’i) bahwa jika shalat itu merupakan yang termasuk disunahkan untuk melakukan shalat sunah setelah shalat tersebut, sebaiknya seseorang untuk kembali rumahnya untuk menjalankan shalat sunah (nafilah). Sebab, menjanlakan shalat sunah tersebut lebih utama dilaksanakan di rumah karena terdapat sabda Nabi saw yang menyatakan: ‘Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian, karena yang paling utama shalatnya seseorang adalah di rumah kecuali shalat maktubah’. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Zaid bin Tsabit ra,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz III, halaman 472).

Sampai titik ini tidak ada persoalan berarti. Namun persoalan akan muncul jika orang yang sehabis shalat fardlu di masjid dan tidak ingin pulang ke rumah dulu tetapi ingin melaksanakan shalat sunah di masjid saja, misalnya. Apa yang sebaiknya ia lakukan, apakah ia shalat sunah di tempat yang telah digunakan untuk shalat fardlu?

Dalam kasus yang seperti ini menurut ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i—sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi—ia disunahkan untuk bergeser atau pindah sedikit dari tempat semula ke tempat lain. Pertanyannya adalah kenapa ia disunahkan bergeser dari tempat semula? Jawaban yang tersedia menyatakan bahwa hal tersebut untuk memperbanyak tempat sujud. Demikian menurut Al-Baghawi dan ulama yang lain.
قَالَ أَصْحَابُنَا فَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ إِلَى بَيْتِهِ وَأَرَادَ التَّنَفُّلَ فِي الْمَسْجِدِ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَنْتَقِلَ عَنْ مَوْضِعِهِ قَلِيلاً لِتَكْثِيرِ مَوَاضَعِ سُجُودِهِ ، هَكَذَا عَلَّلَهُ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ

Artinya, “Menurut para ulama dari kalangan kami, apabila orang yang shalat tidak segera kembali ke rumah, dan masih tetap ingin melaksanakan shalat nafilah di dalam masjid, maka disunahkan baginya untuk bergeser sedikit dari tempatnya semula demi memperbanyak tempat sujudnya. Demikian ini illat atau alasan di balik anjuran berpindah atau bergerser sebagaimana dikemukakan Al-Baghawi dan selainnya,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz III, halaman 472).

Logika yang dibangun Al-Baghawi dan ulama lain menarik untuk dicermati. Memperbanyak tempat sujud sama artinya memperbanyak tempat ibadah. Karena tempat sujud kelak akan akan menjadi saksi bagi orang yang bersujud di tempat tersebut sebagaimana firman Allah swt: “Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,” (QS Az-Zalzalah [99]: 4). Artinya, bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat kepadanya. Demikian yang kami pahami dari pernyataan Asy-Syaukani berikut ini.
وَالْعِلَّةُ فِي ذَلِكَ تَكْثِيرُ مَوَاضِعِ الْعِبَادَةِ كَمَا قَالَ الْبُخَارِيُّ وَالْبَغَوِيُّ لِأَنَّ مَوَاضِعَ السُّجُودِ تَشْهَدُ لَهُ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى { يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا } أَيْ تُخْبِرُ بِمَا عُمِلَ عَلَيْهَا

Artinya, “Illat di balik (anjuran untuk bergeser sedikit, pent) adalah memperbanyak tempat ibadah sebagaimana dikemukakan Al-Bukhari dan Al-Baghawi. Sebab tempat sujud kelak akan menjadi saksi baginya sebagaimana firman Allah: ‘Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,’ (QS Az-Zalzalah [99]: 4). Maksudnya adalah bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat di atasnya,” (Lihat Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Awthar, Idarah At-Thiba’ah Al-Muniriyyah, juz III, halaman 241).

Selanjutnya bagaimana jika orang tersebut setelah shalat fardlu enggan bergeser sedikit untuk menjalankan shalat sunah? Apa yang sebaiknya ia lakukan jika ingin menjalankan shalat sunah? Solusi yang ditawarkan dalam konteks ini adalah sebaiknya ia memisah di antara shalat fardlu dan shalat sunah dengan berbicara kepada orang lain.
فَإِنْ لم يَنْتَقِلْ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَفْصِلَ بَيْنَ الْفَرِيضَةَ وَالنَّافِلَةَ بِكَلَامِ إِنْسَانٍ

Artinya, “Namun jika ia enggan berpindah atau bergeser ke tempat lain, maka sebaiknya ia memisah antara shalat fardlu dan nafilah dengan cara berbicara dengan orang lain,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz III, h 472).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
 
Source : www.nu.or.id





Editor : Danang P.W.

 

Bancak-NUBANCAK.OR.ID

Langkah kakinya pendek-pendek. Tatapan matanya sering ke arah depan. Jarang menunduk dan menengadah. Selalu tampak tersenyum. Egaliter dan dialogis. Tak menonjolkan diri sebagai tokoh penting di organisasi massa Islam terbesar negeri ini. Itulah KH Ma'ruf Amin.

Kiai Ma'ruf adalah Rais Am PBNU periode 2015-2020 sekaligus Ketua Umum MUI periode 2015-2020. Dua posisi puncak yang dijabat secara sekaligus ini jarang dimiliki banyak orang. Ulama yang mendapatkan posisi yang sama sebelum Kiai Ma'ruf adalah KH MA Sahal Mahfudh, rahimahu Allah.

Namun, dalam konteks NU, tak seperti para Rais Aam PBNU sebelum-sebelumnya yang semuanya tinggal di daerah, Kiai Ma'ruf tinggal di jantung ibu kota negara, Jakarta. Karena itu, ia mudah diakses oleh media. Ia bisa diwawancara kapan saja. Terlebih beliau ngantor hampir tiap hari; Senin-Selasa di Kantor MUI, Rabu-Kamis di kantor PBNU.

Penting diketahui, Kiai Ma'ruf ini bukan tipe kiai yang suka berdiri di belakang sebagai penjaga gawang. Jika diperlukan, beliau tak ragu maju ke depan, memimpin "serangan". Ini karena beliau mengerti arah mata angin. Hampir separuh usianya memang dihabiskan di dunia politik. Pernah menjadi anggota lembaga legislatif, dari tingkat bawah hingga pusat.

Aktivitasnya di ranah politik praktis ini yang menyebabkan sebagian orang lupa bahwa Kiai Ma’ruf adalah seorang ahli fikih yang terampil. Para pelajar Islam belakangan tampaknya jarang mendengar noktah-noktah pemikiran keislamannya yang brilian. Padahal, hemat penulis, jika mau ditelusuri jejak akademiknya, Kiai Ma'ruf ini memiliki peran cukup signifikan dalam meletakkan fondasi pembaharuan pemikiran Islam terutama dalam NU.

Dulu ketika NU diserang sebagai organisasi tempat berhimpunnya para muqallid, Kiai Ma'ruf bersama para koleganya seperti Kiai Sahal, Gus Dur, Gus Mus, Kiai Maimoen Zubair, Kiai Imron Hamzah, dan Kiai Wahid Zaini membuat sejumlah terobosan penting. Salah satunya adalah dibukanya pintu istinbath dan ilhaq dalam tubuh NU. Ini sudah dikukuhkan dalam keputusan Munas NU di Lampung, 21-25 Januari 1992.

Saat itu resistensi dari sejumlah kiai bermunculan. Menurut para kiai yang kontra, kerja istinbath dan ilhaq itu adalah kerja akademik para mujtahid seperti para imam madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad ibn Hanbal) atau sekurangnya para ulama madzhab setingkat Imam Nawawi dan Imam Rofi'i. Dan menurut mereka, di NU hingga sekarang tak ada kiai yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid. Karena itu, tawaran istinbath dan ilhaq itu tak relevan bagi NU.

Penolakan itu terus menggema, dari dulu bahkan hingga sekarang. Tapi tak ada langkah mundur dari Kiai Ma'ruf dkk. Sekali layar terkembang, pantang surut ke tepian. Hingga pidatonya dalam harlah NU ke 91 kemarin, Kiai Ma'ruf masih menegaskan posisi akademik yang sama, yaitu penampikannya pada tekstualisme dan kejumudan dalam berpikir.

Mengutip Imam al-Qarafi, Kiai Ma'ruf menegaskan bahwa stagnan pada bunyi-harafiah teks Islam tidak memadai untuk menjawab persoalan-persoalan keumatan dan kebangsaan hari ini. Al-Qarafi berkata, al-jumud 'alal manqulat dhalalun fi al din. Lebih bermasalah lagi, demikian Kiai Ma’ruf, adalah tekstualisme dalam memahami teks-teks keagamaan seperti dalam Kitab Kuning.

Sejak awal 90-an hingga sekarang, Kiai Ma’ruf istiqomah berkampanye tentang pentingnya memahami kitab kuning secara kontekstual, yaitu usaha untuk memahami teks kitab kuning lengkap dengan memahami konteks ketika teks itu disusun oleh pengarangnya.

Tak hanya itu. Seperti umumnya para pembaharu Islam lain, Kiai Ma'ruf pun mengusung ide kemaslahatan. Sebuah adagium yang potensial menghambat pendaratan kemaslahatan dan menahan laju dinamisasi pemikiran Islam secara umum coba dimodifikasi oleh Kiai Ma'ruf. Adagium itu di antaranya berbunyi, al-muhafadhah 'alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Kaidah ini sesungguhnya menuntut adanya keseimbangan antara merawat tradisi dan upaya inovasi. Namun, dalam implementasinya, bobot merawat tradisi lebih besar sehingga porsi untuk melakukan inovasi pemikiran kurang memadai.

Dari segi substansi, kaidah itu tentu tak bermasalah. Bahkan sangat baik. Namun, menurut Kiai Ma’ruf, kaidah itu perlu dilengkapi. Kiai Ma'ruf menawarkan modifikasi kaidah itu demikian, al-muhafadhah 'alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah wal ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah.

Poinnya, menurut Kiai Ma’ruf, kemaslahatan itu harus selalu ditinjau ulang. Sebab, “boleh jadi sesuatu dipandang maslahat hari ini, dua tiga tahun lagi sudah tidak maslahat lagi”, tandas Kiai Ma’ruf. Karena itu, penelusuran pada ditemukannya puncak kemaslahatan adalah kerja akademik yang perlu terus menerus dilakukan.

Tapi, sebagaimana para pemikir Islam lain, Kiai Ma’ruf tak membuka aktivitas istinbath pada ranah ibadah. Urusan ibadah, beliau pasrah. Sementara di ranah mu’amalah termasuk siyasah, Kiai Ma’ruf terus melakukan eksplorasi dan inovasi-inovasi pemikiran. Semoga sehat selalu, Kiai.

KH Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU.
nu.or.id




Editor : Danang P. W.

 

Foto KH. Ali Maksum

Bancak - NUBANCAK.OR.ID

KH Ali Maksum merupakan sosok ulama besar dengan segala keahliannya dalam berbagai bidang keilmuan. Perjalanan studinya dimulai dari Pondok Pesantren Al-Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah di bawah asuhan ayahnya sendiri, yakni KH Maksum Ahmad. Kemudian, beliau berguru kepada KH Dimyati di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Selanjutnya, Kiai Ali mengaji kepada KH Den Rahmad, KH Amir, dan KH Dahlan di Pekalongan serta KH Syaban al-Falaki Semarang. 

Setelah itu, KH Ali Maksum dinikahkan ayahnya dengan Nyai Hasyimah, putri dari KH Munawwir Krapyak. Pernikahan tidak menghentikan langkahnya menuntut ilmu. Beliau pun berangkat ke Haramain untuk melaksanakan ibadah haji. Di sana, beliau pun melanjutkan pengembaraan penggalian pengetahuan keagamaannya kepada Sayid Alawi bin Abbas al-Maliki dan Syekh Umar Hamdan. Perjalanan keilmuannya yang sangat panjang itu memberikannya pengetahuan yang sangat mendalam. KH Said Aqil Siroj, salah satu santrinya, menyebut gurunya sebagai ulama yang allamah, sangat alim. 

Saat mengaji kepadanya, Kiai Said mengaku bahwa Kiai Ali Maksum memberikan kesempatan para santrinya untuk menyampaikan kritik terhadap bacaannya dengan pandangan yang logis dan dasar yang kuat. “Kiai Ali Maksum mengajari santrinya agar berani komentar, berani ngeritik, berani. Tapi dengan syarat kitanya mampu, terukurlah, terukur. Ada kemampuan untuk mengkritik, ayo kritik. Ada kemampuan melakukan perbandingan, melakukan komparasi, silakan kamu lakukan. itu Kiai Ali cara mendidiknya,” terang Kiai Said pada galawicara Peci dan Kopi episode Yang Tak Banyak Diketahui tentang Kiai Said pada 30 April 2020 lalu. 

Aktivitasnya tidak terbatas di pesantren dan NU saja, Kiai Ali juga mengajar ilmu tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Beliau juga menyusun sebuah kitab berisi argumentasi atas praktik ibadah Ahlussunnah wal Jamaah yang kerap diperdebatkan, yakni Hujjatu Ahlissunnah wal Jamaah. Beliau juga memiliki banyak catatan dan teks pidato yang kemudian disatukan menjadi sebuah buku yang berjudul Ajakan Suci. Meskipun sangat luar biasa alim, sikap Kiai Ali tetap tawadhu. Hal ini terlihat dari sikapnya yang menyatakan tidak bersedia dicalonkan sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Kaliurang, Yogyakarta pada 28 Agustus sampai 2 September 1981. H Abdul Basit Adnan mencatat dalam Kemelut di NU antara Kyai dan Politisi bahwa pernyataan putra sulung KH Makshum Ahmad Lasem itu disampaikan secara langsung melalui verbal dan secara tertulis disebarkan ke seluruh peserta.

Walaupun begitu, para kiai yang menjadi peserta Munas saat itu tetap menyepakati Kiai Ali Maksum sebagai Rais Aam. Mereka pun meminta KH Idham Chalid sebagai Ketua Umum PBNU saat itu untuk mengantarkan keputusan tersebut dan meminta kesediaan Kiai Ali untuk menerimanya. Pada prosesnya, Kiai Idham menyinggung masalah ini merupakan masalah umat yang diamanahkan melalui para ulama yang hadir pada Munas.

Pada akhirnya, Kiai Ali menerima keputusan tersebut. Penerimaannya itu didasarkan atas kepercayaan para ulama kepadanya yang tidak boleh disia-siakan. “Memang, kepercayaan seluruh Alim Ulama tidak boleh disia-siakan,” kata KH Ali Makshum sebagaimana dikutip H Abdul Basit Adnan. Ketawadhuan itu Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta itu tidak hanya terlihat dari sikapnya saat menolak dicalonkan sebagai Rais Aam dan pada akhirnya menerima, tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Beliau dikenal akrab dengan semua santri-santrinya. Beliau bahkan hafal nama-nama santrinya beserta asalnya dari mana. Fotonya sedang berangkulan dengan para santrinya itu juga menunjukkan keakrabannya.

Lebih dari itu, Kiai Ali Maksum pernah mengirimkan surat secara personal kepada santrinya yang tengah meneruskan studinya di Baghdad, yakni Ihsanuddin. Surat bertitimangsa 14 Maret 1983 itu diunggah putri santrinya tersebut, Arinal Husna, pada 20 Januari 2017 di akun Facebooknya. Mengawali suratnya, beliau menyapa santrinya tersebut dengan sebutan anakku yang taat, waladi al-muthi’ Ihsanuddin hafidhahu Allah. Bahkan, dalam suratnya, Kiai Ali bercerita mengenai perkembangan Pesantren Krapyak, lengkap dengan kondisi keluarga dan para santrinya yang lain. Beliau juga meminta didoakan santrinya tersebut jika berkesempatan ziarah ke Syekh Abdul Qadir al-Jilani. 

Kiai Ali juga sempat menolak permintaan utusan yang memintanya untuk mengasuh Pesantren Krapyak yang saat itu ditinggal wafat KH Munawwir. Kiai Ali yang saat itu membantu ayahnya mengasuh Pesantren Al-Hidayah, Lasem beralasan masih ada putra-putra mertuanya yang lebih berhak. Namun, ia akhirnya menerima saat Ibu Mertuanya Nyai Sukis yang langsung mengajukan permintaan tersebut. Muhammad Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)


Sumber : https://www.nu.or.id/post/read/125139/ketawadhuan-kh-ali-maksum-dalam-kebesarannya-sebagai-ulama


Editor : Danang P. W.

 

Drs. Khamim (Ketua MWC Bancak) Menyerahkan SK Kepada K. M. Harkim

Boto - NUBANCAK.OR.ID
Pada awal tahun 2021 ini adalah awal baru bagi kepengurusan Nahdlatul Ulama di Kecamatan Bancak Kabupaten Semarang, baik dari tingkat MWC dan tingkat Ranting. Akan dilakukan pembaharuan kepengurusan dimulai dari pembaharuan kepengurusan tingkat Ranting dan selanjutnya ketika selesai semua Ranting akan dilakukan pembaharuan tingkat MWC dengan mengadakan Musyawarah MWC / Konferancab Nahdlatul Ulama Kecamatan Bancak.

Ranting NU Desa Boto terbaru dinahkodai oleh Bapak Kyai Muhamad Harkim yang berdomisili di Dusun Klumpit Desa Boto,  beliau terpilih setelah melalui musyawarah para sesepuh dan tokoh NU setempat. Drs. Khamim Ketua Tanfidziyah MWC NU Kec. Bancak menuturkan bahwa proses reorganisasi atau pembaharuan kepengurusan ini sudah sesuai aturan organisasi dan bertujuan untuk menyegarkan kembali kepengurusan dan menambah semangat dalam mengemban amanah organisasi.

Dijumpai saat selesai acara Bapak Kyai Muhamad Harkim selaku ketua terpilih menuturkan akan mengemban amanat dengan maksimal dan bersama jajaran kepengurusan Ranting NU Boto akan kembali menyusun dan melaksanakan program untuk memfasilitasi jamaah terutama di masa pandemi ini agar tetap semangat dalam mengamalkan amalan nahdliyah serta semangat dalam menjalani kehidupan sehari - hari.





Kontributor : Muh Nur Cholis
Editor : Danang P.W.

KONTAK KAMI (VIA E-MAIL)

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget